Pagi ini dimulai dengan sesenggukan seorang ibu dari samping
rumah. Begitu mendadaknya sampai saya tidak tahu harus berbuat apa di kamar.
Walhasil, ibu saya yang menyambut dan mempersilakannya duduk. Batin saya, satu
klien lagi. Setelah reda dari tangisan menderu-derunya, ibu itu mulai
bercerita. Sangat tipikal. Keluarga besarnya sedang tidak bersahabat. Usahanya
yang sedang berkembang mulai dicemooh. Kepeduliannya pada keluarga semakin
dipertanyakan di tengah gelimangan harta yang ia nikmati sekarang.
Saya sudah sangat sering mendengar cerita semacam ini.
Saudara satu iri dengan saudara lain saat karier salah satunya menanjak. Atau
kalau ‘iri’ itu terdengar terlalu kasar, anggap saja ia tidak suka mengakui
bahwa dirinya sedang kalah saing dalam urusan materi. Orang tua yang kerjanya
mengatur rumah tangga anaknya. Berbagai kisah dari “Pondok Mertua Indah” yang
selama bertahun-tahun ini saya dengar tidak pernah indah. Sangat tipikal.
Saya orang Jawa, mungkin saya sudah sering mengatakannya dan
saya bangga akan itu. Tapi untuk hal yang satu ini semakin hari saya semakin
tidak bangga. Saya mulai memihak Barat. Ya, biarlah orang berkata saya
kebarat-baratan. Saya tidak begitu peduli.
Seorang teman saya dari Jerman pernah bilang pada saya, di
sana saat usianya sudah delapan belas tahun, orang tua sudah tidak punya hak
maupun kewajiban untuk ikut mencampuri urusan anaknya. Mereka sudah boleh
pulang malam, mereka bisa mengadakan pesta di kamar semalam suntuk, tapi satu…
saat itu pula mereka menentukan jalan hidupnya sendiri. Mereka tahu benar bahwa
ada kalanya rumah orang tua sudah bukan lagi tempat tinggalnya. Mereka sadar
konsekuensi menjadi dewasa itu termasuk berpisah fisik dengan orang tua,
mengejar karier sendiri, dan memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping
hidup… sendiri.
Orang tua mereka pun tak ambil pusing dengan anak-anaknya.
Mereka menganggap anak-anak itu bukan sebagai aset, tidak seperti di sini –tanah
kelahiran saya. Mereka tahu anak-anak itu suatu saat akan menentukan arah
panahnya sendiri. Mereka sadar bahwa orang tua hanya bisa menjadi busur terbaik
untuk menyiapkan sang anak melesat sejauh dan sekencang mungkin, ke mana saja
tujuannya. Begitupun saat anaknya akan menikah, cukup satu pertanyaan. “Kamu
yakin?” Dan ketika sang anak sudah menjatuhkan pilihannya mereka akan
mengikuti. Hiduplah orang tua dan anak-anak yang sudah berkeluarga itu sebagai
unit yang baru. Sebagai keluarga yang terpisah, tidak saling mengusik. Mereka
akan berkumpul lagi saat acara keluarga bersama-sama dalam ceria mengenang masa
kecil. Tapi tetap sebagai satuan keluarga yang terpisah, tidak saling mengusik.
Saling berhubungan, tanpa mencampuri kehidupan masing-masing. Tidak ada saling
membandingkan hidupmu-hidupku, karierku-kariermu, atau menantu ini-menantu itu.
Mereka satuan yang terpisah, tidak saling mengusik.
Saya tidak pernah menyalahkan nilai-nilai luhur warisan
nenek moyang saya, tidak. Pemikiran saya hanya tercipta secara tidak disengaja
karena apa yang terlihat di mata saya setiap hari. Atau mungkin terlihat di
mata banyak orang, tapi hanya terlalu tabu untuk disuarakan. Konflik dalam
keluarga besar, persaingan materi, rebutan warisan, sangat nyata ada bukan?
Semua itu cuma karena sebuah pola pikir sederhana. Manusia itu objek. Objek
dari orang tua yang melahirkannya, objek saudara tertuanya, objek materi, objek
harta, objek dunia. Jadilah saudara sebangsa saya, yang harus saya saksikan
setiap hari, hidup dengan setiran di kepalanya. Disetir cita-cita orang tuanya
mau jadi apa saat kecil, disetir lobi-lobi sakti yang membawanya dapat
pekerjaan, disetir mertua cerewetnya saat ingin menjadi menantu mandiri,
disetir arogansi kakak tertua yang tinggalnya hanya di sebelah rumah, disetir
gengsi untuk jadi paling mentereng sekeluarga besar saat kumpul lebaran,
disetir orang tua yang berharap ‘aset’-nya dapat dipanen saat sudah berhasil,
disetir harap-harap cemas untuk dapat warisan paling banyak, disetir perasaan
memiliki harta yang diusahakan orang tuanya. Dan inilah hasilnya… konflik laten
yang siap meledak sewaktu-waktu. Seperti yang terjadi di samping rumah saya,
pagi-pagi tadi.
Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri kehidupan.Mereka terlahir melaluimu, tetapi bukan berasal darimu, karena itu mereka ada bersamamu tapi bukanlah milikmu.Engkau harus memberi mereka cintamu, tetapi bukan pemikiranmu, karena mereka punya pemikiran mereka sendiri.Engkau bisa memberikan rumah untuk tubuh mereka, tetapi tidak untuk jiwanya. Karena jiwa mereka akan tinggal di rumah masa depan, yang tidak bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.Engkau boleh mencoba meniru mereka, tapi jangan memaksa mereka menirumu, karena kehidupan tidak pernah berjalan mundur, tidak pula akan terulang.Engkau adalah busur panah, yang darinya anak-anakmu akan meluncur ke depan.Sang pemanah menarikmu dengan keagungan-Nya agar anak panah bisa melesat jauh menuju keabadian
Tentang Anak
dalam Sang Nabi
Kahlil Gibran
apik tulisane pur, trus smangat nulis yo...
ReplyDeleteBagus banget Puriiii... I'm very proud of you dear! Dan... Puisi terakhir itu... seperti.. nostalgia. :) Sheila.
ReplyDelete