November 1, 2013

Kamu Kira Saya Tidak Tergoda?



Kamu kira saya tidak tergoda? Pada tahta dan kuasa. Saya juga manusia biasa. Yang seringkali lapar akan puja-puja. Kamu pikir saya tidak teringin? Pada rantaian hak istimewa. Saya pun masih seorang emosional hormonal yang menikmati euforia. Yang seratus persen sadar bahwa hal semacam ini hanya terjadi satu kali. Sekali lewat lepas, dia tidak datang untuk kembali.

Lampu sorot itu megah. Hangatnya memacu adrenalinmu. Membuncah. Mendengarkan tepuk dan siulan. Menghitung decak kekaguman. Kemana pun kamu berjalan. Lampu sorot itu setia. Memastikan bayanganmu masih berdiri di sana. Memastikan kamu menghasilkan bayangan. Sedangkan yang menontonmu itu. Saya merasa ada terselip satu dua di sana. Atau mungkin tiga bahkan lima. Yang juga sama denganmu. Menghitung detik demi detik waktu ke waktu. Menunggumu lupa lirik atau salah lagu. Menantimu terseliuh dari sepatu tinggimu. Mengubah tepuk siul decak kagum menjadi lautan hu. Lampu sorot itu begitu megah. Saya juga manusia biasa yang menginginkannya. Tapi satu lampu sorot lagi di depan muka. Rasanya sudah melampaui kapasitas saya. Satu dua dari sejumlah bayangan itu seperti bersabar. Menunggu saya merusak semuanya.

Sesederhana ini. Saya tidak pernah berbakat menjadi politisi. Yang menaruh satu kaki di kanan satu lagi di kiri. Fleksibel. Bukan fokus pada strategi. Tapi hasil jangka panjang yang berisi. Saya masih terlalu emosional hormonal. Yang terobsesi pada idealisasi. Yang tanpa sadar menghabiskan waktu berusaha memuaskan semua hati. Takut dicela alergi dicaci. Saya, dalam hal ini, serapuh sarang laba-laba. Yang teratur terstruktur. Tapi hancur berantakan dengan satu sentuhan. Lalu saya akan menyalahkan diri sendiri. Kenapa jaringnya saya lingkarkan dari kiri ke kanan. Bukan dari kanan ke kiri seperti yang mereka sukai. Hal yang paling tidak esensial. Yang bahkan bukan alasan kenapa si manusia mendaratkan tangannya di sarang saya. Bukan. Bukan berarti saya tidak mampu tidak bisa atau tidak ingin membuat sarang yang baru. Tapi yang baru itu tidak akan pernah sama. Karena saya terlalu menghargai yang pertama. Yang orisinil saya bangun dengan hati. Tanpa tendensi untuk memperbaiki atau mengganti. Melahirkan perbandingan. Dan semua orang benci kalau dibandingkan. Dan saya masih berkutat pada ketakutan untuk dibenci.

Selalu ada pilihan dalam kehidupan. Dua di antaranya adalah menjadi egois atau mulia. Saya, seperti semua manusia rasional lainnya, pasti ingin menjadi yang kedua. Bukan sepenuhnya untuk dikenang. Bukan pula mau menjadi sok pahlawan. Tapi sesederhana sebuah kenyataan. Bahwa kita dibutuhkan. Bahwa dunia merasa kamu tidak punya alasan untuk tidak ambil bagian. Seperti para pendahulu yang dengan rela meninggalkan segala kenyamanan. Turun ke jalan. Sepenuh jiwa raga menata bata perjuangan. Dan pada akhirnya, secara suka cita dunia mengenang mereka sebagai pahlawan. Namun saya secara pahit menyadari satu fakta di sini. Yang secara sakit menyatakan bahwa saya dan mereka di lain kondisi. Mereka ada di posisi yang selalu menyambut untuk kembali. Kalah dan gagal itu bukan pilihan. Bukan pula menjadi hal yang terlintas dalam angan. Tapi setidaknya, kalau itu betul betul terjadi, satu hari di satu masa masih ada satu jaminan meyakinkan. Kenyamanan yang dulu mereka tinggalkan. Itu. Menjadikan mulia itu pilihan. Sedangkan saya masih buta akan masa depan. Tidak berhak menuntut dunia bertoleransi. Mencari satu saja jarum aman di antara setumpuk jerami. Membuat egois dan mulia bukan lagi pilihan. Tapi ironi yang sayangnya adalah realita. Tidak ada jaminan tidak pula kepastian. Tidak memberi kesempatan pada kegagalan dan kekalahan. Karena momen inilah yang dinanti-nanti. Oleh bayangan-bayangan dari lampu sorot tadi. Oleh manusia yang mulai terusik pada si sarang laba-laba tadi. Dan kesempatan. Sekali lewat lepas, tidak datang untuk kembali.

Saya sampai pada kesimpulan. Saya lebih suka mendampingi. Menjadi seorang yang memastikan kamu tidak lupa lirik atau salah lagu. Memilihkan sepatu terbaik yang tidak membuatmu terseliuh. Saya lebih tersanjung pada kepercayaan. Yang kamu berikan sepanjang jalan. Daripada tepuk siulan manusia lain yang bahkan dengan mereka saya tidak pernah berkenalan. Saya lebih menghargai ketika kamu mendengarkan. Mempertimbangkan ide-ide yang saya lontarkan. Memasukkannya sebagai bagian dari strategi brilian yang sedang kamu canangkan. Saya punya cara aneh tersendiri untuk menikmati perhatian. Bukan dari puja puji di sana-sini. Tapi dari cerita-cerita pribadi yang secara suka rela kamu bagi. Saya, di sini, akan menjadi yang pertama bersiul dan tepuk tangan. Ketika sederet lagu dan tarian berhasil kamu tampilkan. Dan saya, di sini, akan menjadi yang pertama. Duduk denganmu yang berhadapan pada kegagalan dan kekecewaan. Lalu dengan fakta dan argumen meyakinkan berkata, semua akan baik-baik saja. Saya, sampai detik ini, lebih suka mendampingi.


blogger template by lovebird