November 14, 2012

Because Life Will Never be Like Fairy Tales

Little big things.

"The movie was just so so... you know, fairy-tale-like happy ending. I prefer the realistic one."

I've heard these words for so many times from people around, even my younger brother said so. Or even more, you are also one of them. Well, I used to agree with this argument though. I thought it was too boring to watch what so called happily-ever-after movies or to read happy ended novels. Sometimes the story line even doesn't make any sense. At that moment, I agreed, they are all unrealistic. However, how I hate those kind of stories,  I keep reading them. Moreover, I can waste more than half a day to finish those movies. Yes. I recently realized, I don't dislike them. I love them.

I was wondering why I can be so hipster -which is so not me- in my environment by saying I like it, but become too mainstream around people out there. Why every time always ends up with movies full of coincidences or chained-relationships stories. Why they have to be very cheesy, naive, and perfection oriented, as if it's possible. It's impossible though. Finally I got my answer. Because life, I mean this real life, will never be like fairy tales.

Some of you might nodded and agree, but probably some don't. I have to admit that some people have that fairy-tale-like life in their real world. They have everything, surrounded by everything. I am not just saying. I do know some of them personally. However, so human, these people will still ask for something, look for anything they haven't get. They never completely happy like every fairy tales' last words "They live happily ever after". Not only those fairy-tale-like-living people, ordinaries do feel so.

I often excused myself to think more about others' life, instead of mine. Why are they so pretty, so rich, so famous, so smart? What isn't there in their life? Should it be living in fairy tale with that? I never asked them personally, but have been trying to find out. And probably this is what they will say.

"What's so good about being pretty if it just used to raise guys' pride of being pretty-girl's boyfriend, instead of together completing each others' missing-puzzle? What's so perfect of being rich if the desire of having everything is such a human instinct? What's so cool of being famous and smart when people always stare at every single time of our life, either to imitate or search for wrong deeds?"

Life will never be like fairy tales. There's always what commoners called sacrifices as well as dissatisfaction. Economists call it trade-off. Businessmen say it's give-and-take. Even maybe scientists have their own term to describe. The facts are, pretties often give up her ego of not being whole-heartedly loved. Riches work extremely like horse to gain those money, thinking while people are sleeping, alone in office while others comfortably chatting with family in vacation. Smarts struggle a lot to keep being smart just because people tend to easily ask questions and they must answer it correctly since people assume they know everything, I can say they always worry of disappointing their beloved ones since high expectation relied on their shoulders. Even worse, those world-boom actors have to be willingly change their face, not married -or even dated-, went to entertainment schools without any guarantee of being orbited, and walk with those shades and caps to cover their face as the consequences of fame. Unfortunately, that how real life is.

That's why I love fairy tales the most. Where can I feel those perfection of life if not from human-made imaginations? Don't get me wrong. I'm not saying that life is miserable, it's just there's nothing without sacrifice. And fortunately, sacrifices lead to happiness since we give up things for, what we think, treasure. I will always want a simple happy fairy-tale-like life. I understand that fairy-tale-like life won't be possible, so I give it up and go for simple happy life instead. One of my ways is by enjoying fairy tales. Being dazzled in its perfection and impossibility, for a while only, to live up hard-challenging reality.

August 16, 2012

Di Rumah Saya, Pagi-Pagi Tadi


Pagi ini dimulai dengan sesenggukan seorang ibu dari samping rumah. Begitu mendadaknya sampai saya tidak tahu harus berbuat apa di kamar. Walhasil, ibu saya yang menyambut dan mempersilakannya duduk. Batin saya, satu klien lagi. Setelah reda dari tangisan menderu-derunya, ibu itu mulai bercerita. Sangat tipikal. Keluarga besarnya sedang tidak bersahabat. Usahanya yang sedang berkembang mulai dicemooh. Kepeduliannya pada keluarga semakin dipertanyakan di tengah gelimangan harta yang ia nikmati sekarang.

Saya sudah sangat sering mendengar cerita semacam ini. Saudara satu iri dengan saudara lain saat karier salah satunya menanjak. Atau kalau ‘iri’ itu terdengar terlalu kasar, anggap saja ia tidak suka mengakui bahwa dirinya sedang kalah saing dalam urusan materi. Orang tua yang kerjanya mengatur rumah tangga anaknya. Berbagai kisah dari “Pondok Mertua Indah” yang selama bertahun-tahun ini saya dengar tidak pernah indah. Sangat tipikal.

Saya orang Jawa, mungkin saya sudah sering mengatakannya dan saya bangga akan itu. Tapi untuk hal yang satu ini semakin hari saya semakin tidak bangga. Saya mulai memihak Barat. Ya, biarlah orang berkata saya kebarat-baratan. Saya tidak begitu peduli.

Seorang teman saya dari Jerman pernah bilang pada saya, di sana saat usianya sudah delapan belas tahun, orang tua sudah tidak punya hak maupun kewajiban untuk ikut mencampuri urusan anaknya. Mereka sudah boleh pulang malam, mereka bisa mengadakan pesta di kamar semalam suntuk, tapi satu… saat itu pula mereka menentukan jalan hidupnya sendiri. Mereka tahu benar bahwa ada kalanya rumah orang tua sudah bukan lagi tempat tinggalnya. Mereka sadar konsekuensi menjadi dewasa itu termasuk berpisah fisik dengan orang tua, mengejar karier sendiri, dan memutuskan siapa yang akan menjadi pendamping hidup… sendiri.

Orang tua mereka pun tak ambil pusing dengan anak-anaknya. Mereka menganggap anak-anak itu bukan sebagai aset, tidak seperti di sini –tanah kelahiran saya. Mereka tahu anak-anak itu suatu saat akan menentukan arah panahnya sendiri. Mereka sadar bahwa orang tua hanya bisa menjadi busur terbaik untuk menyiapkan sang anak melesat sejauh dan sekencang mungkin, ke mana saja tujuannya. Begitupun saat anaknya akan menikah, cukup satu pertanyaan. “Kamu yakin?” Dan ketika sang anak sudah menjatuhkan pilihannya mereka akan mengikuti. Hiduplah orang tua dan anak-anak yang sudah berkeluarga itu sebagai unit yang baru. Sebagai keluarga yang terpisah, tidak saling mengusik. Mereka akan berkumpul lagi saat acara keluarga bersama-sama dalam ceria mengenang masa kecil. Tapi tetap sebagai satuan keluarga yang terpisah, tidak saling mengusik. Saling berhubungan, tanpa mencampuri kehidupan masing-masing. Tidak ada saling membandingkan hidupmu-hidupku, karierku-kariermu, atau menantu ini-menantu itu. Mereka satuan yang terpisah, tidak saling mengusik.

Saya tidak pernah menyalahkan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang saya, tidak. Pemikiran saya hanya tercipta secara tidak disengaja karena apa yang terlihat di mata saya setiap hari. Atau mungkin terlihat di mata banyak orang, tapi hanya terlalu tabu untuk disuarakan. Konflik dalam keluarga besar, persaingan materi, rebutan warisan, sangat nyata ada bukan? Semua itu cuma karena sebuah pola pikir sederhana. Manusia itu objek. Objek dari orang tua yang melahirkannya, objek saudara tertuanya, objek materi, objek harta, objek dunia. Jadilah saudara sebangsa saya, yang harus saya saksikan setiap hari, hidup dengan setiran di kepalanya. Disetir cita-cita orang tuanya mau jadi apa saat kecil, disetir lobi-lobi sakti yang membawanya dapat pekerjaan, disetir mertua cerewetnya saat ingin menjadi menantu mandiri, disetir arogansi kakak tertua yang tinggalnya hanya di sebelah rumah, disetir gengsi untuk jadi paling mentereng sekeluarga besar saat kumpul lebaran, disetir orang tua yang berharap ‘aset’-nya dapat dipanen saat sudah berhasil, disetir harap-harap cemas untuk dapat warisan paling banyak, disetir perasaan memiliki harta yang diusahakan orang tuanya. Dan inilah hasilnya… konflik laten yang siap meledak sewaktu-waktu. Seperti yang terjadi di samping rumah saya, pagi-pagi tadi.

Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri kehidupan.
Mereka terlahir melaluimu, tetapi bukan berasal darimu, karena itu mereka ada bersamamu tapi bukanlah milikmu.
Engkau harus memberi mereka cintamu, tetapi bukan pemikiranmu, karena mereka punya pemikiran mereka sendiri.
Engkau bisa memberikan rumah untuk tubuh mereka, tetapi tidak untuk jiwanya. Karena jiwa mereka akan tinggal di rumah masa depan, yang tidak bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Engkau boleh mencoba meniru mereka, tapi jangan memaksa mereka menirumu, karena kehidupan tidak pernah berjalan mundur, tidak pula akan terulang.
Engkau adalah busur panah, yang darinya anak-anakmu akan meluncur ke depan.
Sang pemanah menarikmu dengan keagungan-Nya agar anak panah bisa melesat jauh menuju keabadian
Tentang Anak dalam Sang Nabi
Kahlil Gibran 

April 27, 2012

Lost

Little big things

Lost is just a phase of a journey that give you few times to think "Where am I now?"
Puri Rahmawati - 19 years old


Entah kenapa kalimat itu sering sekali berputar di otak saya. Bukan, itu bukan kutipan dari seseorang ternama atau bersejarah. Kalimat itu muncul begitu saja dari otak saya secara random. Begitu mucul, dia melekat sebegitu eratnya sampai sekarang. Malam ini. Saat tanggal di sudut kanan bawah layar ini hampir berganti.

Well, no, it's not about homesick anymore. Saya sudah memikirkannya betul-betul. Ini bukan tentang rindu kampung halaman. Ini sepenuhnya tentang ritme kehidupan baru yang sedang berusaha saya tangkap iramanya.

I felt like lost or I do still feel like lost. Entahlah. Ada saat-saat di mana saya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ada saat-saat di mana saya tiba-tiba saja tidak ingat seperti apa saya dulu. Ada waktu di mana entah bagaimana caranya saya lupa bagaimana saya seharusnya di sini. Sementara itu saya belum sepenuhnya berhasil mentransformasikan diri ke dalam lingkungan yang baru. Belum lagi terkadang hal yang buruk datang saat kondisi sedang buruk, memperburuk apa yang sudah terlanjur buruk.

Well, kalau merujuk kalimat yang masih saja stuck di kepala saya itu, seharusnya perasaan saya membaik. Maka dari itu, saya mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya tentang waktu. Seperti belajar menari, ada masa di mana kita butuh untuk melihat dan memahami setiap gerakan, ritme yang tepat, serta irama yang benar. Saya meyakinkan diri, saya sedang di fase itu. Sampai kapan? Entah. Saya tak mau buru-buru. I'll just take my time, no need to rush otherwise I'll be lost further and further. Totally lost my life rhythm, living in someone else's life.

Bismillah. Semesta mendukung.

April 8, 2012

Malaysia : Kesan Pertama

Little big things



Akhirnya setelah sekian lama menelantarkan blog ini saya kembali, beradu di depan layar dengan tik-tok keyboard yang menyenangkan. Kali ini di tempat yang baru, bahkan dengan keyboard berbeda dengan yang saya pakai untuk posting tulisan-tulisan sebelumnya. Ya, sudah dua bulan lebih sekian hari sejak saya akhirnya memilih meninggalkan Jogja menuju ke sini, Kuala Lumpur, Malaysia.

Sebenarnya semacam terlambat untuk memberi judul "Kesan Pertama". Saya sudah melewatkan puluhan hari. Well, tapi entah mengapa saya merasa perlu menuliskannya. Beberapa point of view tentang tempat yang akan saya tinggali selama beberapa tahun ini. Beberapa kesan yang, jujur, sempat membuat kaget, menghela napas, maupun senyum-senyum senang.

Tentang Saya di Hari-hari Pertama
meja saya, yang tidak pernah bosan saya pandangi
Saya asli darah Jogja. Orang tua saya Jogja. Keluarga besar saya mayoritas tinggal di Jogja. Tidak ada alasan kuat bagi saya untuk pergi ke luar kota, selain sekedar jalan-jalan atau berlibur. Lalu sekarang saya di sini, keluar dari sebuah kota nyaman yang selama ini menjadi zona nyaman saya. Mungkin itulah yang membuat beberapa hal terasa berat di hari-hari awal. Ya, fase adaptasi. Fase di mana saya harus menyesuaikan diri dengan iklim, makanan, bahasa, kebiasaan, dan lingkungan yang sama sekali baru.
Kalau boleh mengaku, saya akhirnya tahu bagaimana rasanya homesick. Saya kangen rumah, saya rasanya ingin pulang. Tapi beruntunglah di masa-masa itu banyak orang menguatkan. Dukungan keluarga dan sahabat, beberapa kado cantik dari teman-teman terbaik, konsultasi sana-sini dengan berbagai macam orang. Saya masih ingat seorang teman bilang, semuanya akan beranjak baik setelah dua minggu. Dan ya, dia seratus persen benar. Semakin hari semakin baik, saya mulai bisa menikmati ritme hidup di rantau. Lama kelamaan terasa menyenangkan. Banyak hal baru yang menanti untuk dicoba, tempat baru untuk didatangi, pengalaman baru yang harus dirasakan. Semua itu membuat saya mulai bersemangat menjalani hari-hari studi. Dan akhirnya, beginilah saya sekarang. Menjalani pola hidup baru sembari secara rutin bertanya kabar tentang Indonesia saya.

Tentang Iklim dan Waktu Baru
jakarta pagi hari, tepat sebelum berangkat
Ya, saya tahu topik ini semacam tidak begitu penting. Topik yang sering digunakan orang hanya untuk basa-basi yang menjadi semakin basi. Tapi sungguh, bagi saya, perbedaan iklim menjadi suatu 'kesan pertama'. Saya tinggal di Kuala Lumpur yang notabene terletak di dekat khatulistiwa. Jadi dapat dibayangkan, daerah di sini cukup panas. Suhu rata-ratanya sekitar 31 derajat celcius, atau sepertinya dapat lebih panas lagi saat siang hari. Selain itu, udara di sini juga lembap. Orang Jawa menyebutnya pliket, semacam lembap dan panas dicampur bersama-sama.
Well, beruntunglah saya datang pada musim hujan. Beberapa hari terakhir ini hujan tidak enggan turun. Basah memang, bahkan kadang merepotkan di hari-hari kuliah. Tapi setidaknya hawa sejuk yang dibawanya nyaman di badan. Belum lagi di pagi atau sore hari, mendukung untuk tidur lebih nyenyak. hehe
kota saya sekarang, dari balkon kamar
Omong-omong tentang tidur, saya tertarik dengan satu fakta. Waktu Malaysia sama persis dengan WITA, tapi waktu shalat Kuala Lumpur masih lebih lambat daripada Jakarta dan sekitarnya. Well, ini karena letaknya yang memang jauh di sebelah barat pulau Jawa. Dan tentang pembagian waktu yang cukup aneh itu, pemerintah Malaysia entah sejak kapan memang menetapkan zona waktu yang sama untuk wilayah ini dan Sabah Serawak (Malaysia Kalimantan). Jadilah pukul enam seperempat di sini baru adzan subuh.
Korelasinya dengan tidur? Mengutip tweet seorang reporter yang saya lupa namanya, jam tubuh manusia bergantung pada keberadaan matahari. Saya baru mengerti betul sekarang. Meskipun jam di sini bergerak lebih awal, orang-orang pun memulai dan mengakhiri harinya lebih lambat. Bangun saat subuh berarti sekitar pukul setengah tujuh. Dan jangan heran kalau pukul dua belas malam masih cukup banyak orang lalu lalang.

Tentang Makanan Baru
Berhubung saya tidak pergi jauh, hanya sekitar dua jam lewat udara, tidak banyak hal berbeda tentang makanan. Saya dan sebagian besar orang di sini masih makan nasi, absolutely! Perbedaan hanya ada pada menu dan rasa. Di sini saya menemukan berbagai macam mie, makanan pedas bersantan, dan tak berkuah banyak. Awalnya memusingkan mengingat kebiasaan makan berkuah dan tak sebegitu pedas. Beruntunglah lidah cukup bersahabat untuk menyesuaikan dengan apa adanya. Mencoba makanan baru, menarik.

Tentang Atmosfer Baru
yeah, the twin tower
KL is such a big city! Kesibukan dimulai saat hari masih gelap dan tempat tertentu tidak tidur untuk berbagai macam alasan. Dari kamar asrama saya, yang tepatnya ada di lantai delapan, bisa terlihat antrean mobil yang hampir tidak bergerak karena macet saat jam pulang kerja. Dari balkon, saya disambut julangan pencakar langit yang entah dipakai sebagai gedung apa. Bus hampir selalu penuh, begitupun LRT dan sejenisnya. Taksi lalu lalang siap menjemput dia yang ingin cepat sampai tujuan. Ramai dan padat. Keramaian tidak selamanya membuat penat, terkadang saya juga suka riuh rendah ramai orang di sini. Di sebuah lokasi bersama kerumunan orang yang melakukan urusannya masing-masing, saya bisa hanya diam mengamati. Paradoks menyenangkan untuk dilihat.
Yang menarik, di sela-sela kepadatan, hampir selalu saya bertemu orang Indonesia. Entah itu di kampus, di mall, di jalan, di mana-mana. We seems to grow that fast so our people spread out everywhere. Well, I have no idea whether that's good or bad.


Ya. Di sinilah saya sekarang. Memulai lembaran baru di tempat baru dengan segala sesuatu yang baru. Semacam meng-klik shortcut Microsoft Word, membuka file, memilih new. Tidak lupa, saya sudah memastikan menekan icon save untuk dokumen lama saya. Tidak mau meng-klik close agar dapat membukanya sewaktu-waktu saat saya butuh kutipan-kutipan dari dokumen saya sebelumnya.

January 29, 2012

Kenapa Sejarah?

Alkisah beberapa hari yang lalu saya sedang berselancar di facebook. Seperti biasa, kursor hanya bergerak di sekitar wall, newsfeed, dan group yang harus dibuka satu-satu sekadar untuk melihat-lihat kabar paling up to date. Alhasil saya membuka group resmi keluarga alumni sekolah saya, Padmanaba. Roll ke bawah, baca satu persatu sepintas. Sampai pada sebuah link menarik.

He's a history teacher, but more than that, he's an inspirator for his students. Salah satu yang terinspirasi adalah saya sendiri. Seorang murid dari mungkin ribuan yang telah beliau ajar. Berkat beliau, saya sangat menyukai pelajaran sejarah. Kalau mau dibilang lebih dari itu, saya -sampai saat ini- masih sangat mencintai sejarah.

Ya, saya akui saya pernah sangat males belajar sejarah. Seperti kebanyakan anak SD saat itu, saya berpikir bahwa sungguh tidak ada gunanya menghapalkan angka-angka tahun yang tidak ada hubungannya dengan hidup kita. Semacam apa peduli saya kalau Pangeran Diponegoro berperang pada tahun 1825 sampai 1830. Saking desperate menghapal, saya sampai meniru cara majalah dengan membayangkan Pangeran Diponegoro perang habis maghrib saat jam 18.25 sampai 18.30. Cukup setengah jam saja haha.

Dan orientasi saya terhadap mata pelajaran yang satu ini mendadak berubah sejak SMA kelas XI. Tepatnya ya saat saya diajar oleh mahaguru yang bisa menghapal semua sejarah penting dunia di luar kepala itu. Mengutip sebuah statement yang berulang kali beliau sampaikan di sela-sela mengajar.
"Belajar sejarah itu bukan hanya membaca. Lebih dari itu, yang terpenting adalah mempelajari benang merah dari berbagai peristiwa secara berkesinambungan. Sejarah merupakan jalinan antar benang tersebut."
Saya akui, setelah mengetahui rahasianya adalah seperti yang beliau sampaikan, sejarah menjadi mudah dan menarik. Mempelajarinya tidak lagi dari buku-buku pelajaran yang -saya akui setengah mati- memang membosankan, tetapi dari film, TV shows, dan buku-buku populer. Yes, dan inilah asal mula saya menjadi penikmat film trilogi Merah Putih hehe.

Kenapa Sejarah?
Kenapa Sejarah? Kenapa bukan matematika, geografi, atau biologi? Bukan, bukan bermaksud untuk mendiskreditkan bidang studi lain. Saya lebih suka memaknai sejarah di luar dari konteksnya sebagai pelajaran yang dengan dipelajari maka murid akan dapat nilai. Sejarah itu luas, bahkan masing-masing individu di bumi ini punya sejarahnya masing-masing. Dan yang saya sukai dari kenyataan ini adalah bahwa kita tidak perlu mengulang sebuah kesalahan yang telah dilakukan seseorang dalam bagian sejarah hidupnya.
"We study history that we may be wise before the event."
 -Sir John Seeley-

Yes! That's it! Rasanya menjadi sangat bersemangat dan nasionalis ketika tahu para founding fathers bangsa ini, yang sebenarnya sudah hidup layak dan nyaman secara materi, mau turun ke hutan-hutan untuk angkat senjata dan berperang. Rasanya sangat berbangga ketika tahu kenyataan bahwa Indonesia adalah satu dari segelintir bangsa yang merdeka karena usahanya sendiri. Rasanya begitu ingin benar-benar mengabdi kepada bangsa ketika ingat bahwa satu-satunya alasan para pejuang itu gugur di medan laga adalah kedaulatan bangsa.

Dan rasa-rasanya asal muasal, akar pangkal dari kebobrokan moral para pemimpin bangsa Indonesia saat ini adalah karena mereka amnesia sejarah. Tidak perlu ribut-ribut tentang Keistimewaan kalau mereka ingat bahwa Kesultanan Yogyakarta yang menyokong pemerintahan selama revolusi, baik secara moral maupun material. Tidak perlu minta gaji naik, sertifikasi, atau remonerasi kalau mereka berkaca pada pendahulunya yang bahkan berkomitmen tidak menikah sebelum merah putih berkibar. Tidak perlu gedung maha megah untuk berkelahi kalau mereka malu dengan rumusan sila ke-satu yang diselesaikan dengan toleransi tingkat tinggi. Ya, tidak perlu ada mereka kalau nyatanya dulu Indonesia bisa berjaya dengan gerilya.

Dan saya di sini, berharap untuk tidak menjadi semacam mereka. Saya tahu sedikit sejarah. Saya belajar sejarah. Saya mencintai sejarah. Seperti kata Seeley, seharusnya kita lebih bijak untuk tidak mengulang kesalahan bangsa ini. So, mari belajar sejarah.


with all do respects to our teachers,
Pak Tarto, Pak Radi, Cak Budi
for every story that keep sticking inside my brain

January 1, 2012

Have a Blessed Year 2012!

A little big thing.


companion tonight: yummy toast and a cup of coffee
It's 00.17 am now. I am now sitting here in front of PC. Right on my left the TV is still talking about whatever I don't care. The sound of fireworks outside slowly dissappear after all of these celebration. Some of my friends decided to spend the night by having dinner special dinner with their family, gathering on the streets with the most people in town, or burning the bonfire at beach. Then I choose to be here, enjoying my new year's eve with a cup of cofee and a yummy toast :)

Selamat tahun baru 2012! Rasanya tidak menyangka saya baru saja melewatkan tahun lalu yang penuh dengan cerita. Ya, mulai dari cerita menyenangkan, menggelikan, mengharukan, atau bahkan mendewasakan. Bagi saya pribadi, tahun 2011 membawa banyak kebahagiaan sekaligus keberkahan dari Allah. Sungguh.

Sejenak biar saya sedikit flashback tahun kemarin yang baru beberapa menit berlalu ini.

my 2011 new year greetings!
Januari, Februari, sampai April, ah.. saya masih ingat betul atmosfer waktu itu. Ke mana-mana bawa buku. Topik obrolan selalu berujung pada cerita sejarah atau rumus matematika. Les kian kemari dan membolos demi pergi ke perpus. Haha.. What a big tension! Kelas tiga menjadi saat paling menegangkan (sekaligus menyenangkan menurut saya) dengan berbagai impian dan fokus masing-masing. Dan hal yang paling mengesankan adalah saat kami, saya dan teman-teman Padmanaba 66 sama-sama berjuang demi mimpi kita bersama. Demi membuat Padmanaba bangga.

Mei, Juni, Juli, Agustus menjadi saat-saat yang kadang setengah membosankan. Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan. Apalagi tahu bahwa kami belum mendapat pengumuman dari calon universitas yang diharapkan. Pengangguran mulai tidak produktif. But then the blessing was coming! Alhamdulillah, saya diterima di jurusan dan universitas yang sudah saya niatkan untuk menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Ilmu Komunikasi UGM. Saya pikir ini yang pilihan Tuhan yang terbaik.

September sampai Oktober sudah seperti olahraga instan. Teman-teman masih ingat semua tugas ospek? Kegiatan yang fullday dari pagi sampai petang. All the busy stuffs came back after years. Tapi kalau diingat-ingat, menyenangkan juga lah. Dan memang benar, kegiatan macam itu jadi pemanasan buat tugas kuliah yang jauh beda sama SMA. Aaaa.. >.<

Okay, dua bulan ini memang jadi fase paling amazing bagi saya. Kenapa? Satu resolusi besar saya di tahun 2011 benar-benar di ambang pintu pencapaian pada saat ini. Dan satu mimpi saya sejak kecil sedang di ujung tanduk untuk diwujudkan. Ya, ini serius.
Alhamdulillah. Segala pujian bagi Allah. And thanks to the Lord for this big blessing! Allah mempercayai saya untuk merasakan sensasinya belajar di luar negeri. Hal yang saya mimpikan sejak kelas empat SD, tapi tidak pernah saya bayangkan betul akan terwujud secepat ini. Masya Allah :')
Saya menjadi satu yang beruntung dari beberapa teman amazing yang mendapat beasiswa dari CIMB Group untuk kuliah S1 di Malaysia. Asli! Sujud syukur nggak berhenti-berhenti deh pokoknya.. >.<

Dengan begitu, saya akan berangkat insya Allah tahun ini. Dan meskipun tertunda sebulan, saya tetap akan meng-golkan resolusi besar di tahun 2011, membiayai hidup saya sendiri. Realizing my little big dream, pergi ke luar negeri.







yes! it's written on the diary ;D
a little big dream :)
 Jadi itulah kenapa saya sebut tahun kemarin, 2011, sebagai tahun keberkahan. Banyak pengalaman. Banyak pelajaran mendewasakan. Banyak harapan yang menunggu untuk segera direalisasikan. Dan tahun ini, saya berharap, Allah Sang Maha Cinta masih bersedia melimpahkan cinta kasih dan berkah-Nya kepada saya, kepada keluarga saya, kepada sahabat-sahabat saya, kepada orang-orang terdekat saya, kepada semua orang yang saya kenal, dan kepada dunia yang senantiasa membuat hidup saya terasa bermakna.

let's wake up and realize the dreams. Starts from little big things. Starts right here. Right now.

Bismillah. HAVE A BLESSED YEAR 2012 EVERYONE!


blogger template by lovebird